Oleh : Dedi Suparjo*
KEBERHASILAN proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sang guru. Guru merupakan pelaku utama di sekolah formal maupun non-formal untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkepribadian yang baik, memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, sehat jasmani maupun rohani serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sosok sang guru adalah orang yang dapat dipercaya dan diteladani oleh seluruh siswanya serta lingkungannya.
Seiring dengan perkembangan zaman, profesi guru tempo dulu dihormati dan menempati posisi terpandang di mata masyarakat lambat laun mengalami pergeseran. Pergeseran posisi guru disebabkan berbagai faktor, antara lain moralitas guru yang kadang tidak terjaga, kurangnya kemampuan profesi yang dimiliki oleh guru, dan tingkat ekonomi guru yang masih rendah. Terkait dengan moralitas, banyak ditemui guru-guru yang justru tidak mencerminkan sikap dan perilaku terpuji, sehingga tidak layak untuk diteladani oleh siswa-siswanya dan penulis tidak menafikan banyak juga para guru yang memiliki prestasi namun kurang mendapatkan
perhatian dari para pengambil kebijakan. Tingkat kesejahtraan guru yang kurang terjamin memaksa guru untuk mencari kerjaan tambahan, sehingga dapat melemahkan konsentrasinya pada peningkatan kualitas dan kapasitas dirinya. Guru berkecendrungan untuk mengajar dan mendidik para siswa ala kadarnya, bahkan sekedar masuk kelas tanpa adanya target belajar yang jelas dan terarah.
Oleh karena itu, upaya untuk menempatkan guru dalam posisi yang terhormat sebagai sosok pencetak generasi unggul bangsa mutlak untuk dilakukan. Selain itu, guru tentunya harus memiliki kualitas yang lebih baik, termasuk juga kesejahtraan yang memadai. Sehingga, tingkat kesejahtraan guru dapat terjamin, harapannya manakala bisa berbanding dengan lurus sesuai dengan profesionalitas guru itu sendiri. Sosok seorang guru sebagai sebuah profesi menghendaki profesionalitas dan kesejahtraan finansial yang berjalan beriringan. Maka, niat baik dari pemerintah menyejahtrakan guru perlu untuk kita apresiasi dimana dalam beberapa waktu dekat ini gaji guru akan dinaikan sebesar 100 %. Data Depdiknas menyebutkan dengan kenaikan itu, gaji terendah untuk guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan II/B bisa mencapai tidak bersertifikat (0 tahun) yang semula hanya Rp. 1,55 Juta akan naik sebesar Rp. 2,07 Juta. Sementara gaji untuk guru PNS tertinggi dengan golongan IV/E bersertifikat (0 tahun) yang semula hanya Rp. 2,43 juta menjadi Rp. 5,42 juta. Itu belum ditambah lagi tunjangan khusus bagi guru-guru yang berada di daerah-daerah terpencil sebesar Rp. 5,1 juta dan tunjangan lainnya. Jika kita total, setiap bulannya guru akan menerima gaji sebesar Rp. 10 juta (Agus Wibowo : 2008). Di sisi lain, kita melihat kesejahtraan guru non-PNS seyogianya juga mesti harus diperhatikan oleh pemerintah. Pada dasarnya, penggajian guru PNS dan non-PNS tidaklah semestinya harus dibedakan. Dalam Recommendation Concerning The Status of Teachers yang dirumuskan oleh UNISCO dan ILO pada 5 Oktober 1966 menyebutkan bahwa guru apapun statusnya memperoleh penggajian yang sama secara proporsional (Pasal 60). Bahkan, dalam pasal 124 merekomendasikan bahwa penggajian guru didasarkan pada posisi guru yang merupakan pekerja dan memiliki hak sebagai seorang pekerja.
Menunggu Sang Guru yang Profesional
Siapapun kita, yang jelas mengharapkan agar tingkat kesejahtraan guru berbanding lurus dengan tingkat kualitas guru. Munculnya UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang menggariskan kebijakan profesionalisasi guru seakan menjadi angin segar bagi perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia. Proses peningkatan kemampuan guru dalam mencapai kriteria standar profesi ini tidak serta merta berjalan secara optimal. Kendala-kendala masih sangat banyak dijumpai terkait pelaksanaan program sertifikasi guru yang sudah mulai dilaksanakan dan masih akan terus untuk dilaksanakan. (Lihat : Para Guru).
Berdasarkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru merupakan tenaga profesional yang memiliki hak dan juga kewajiban untuk menjadi profesional. Dijelaskan jika kita membaca UU. No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen Bab IV, guru wajib untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Adapun kualifikasi akademik, profesi guru harus diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Selain itu, guru juga harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Jadi, selain guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi, guru juga perlu memiliki sertifikat pendidik. Untuk itu, sebagai bagian dari peningkatan mutu guru, pemerintah seyogyanya harus tetap menggelar program sertifikasi guru. Bagi kita yang ingin menjadi calon guru dan sudah menjadi guru, hendaknya mempersiapkan diri dari sekarang untuk mengikuti sertifikasi yang memang menjadi bagian dari pendidikan profesi, sedangkan yang sudah berstatus menjadi guru dilaksanakan secara mandiri dan berkesinambungan.
Terkait dengan intervensi pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, melalui program sertifikasi selain itu guru juga perlu untuk terus diberikan apresiasi lebih-lebih isu yang sangat hangat kita dengar belakangan ini adanya wacana dari pemerintah untuk mengubah Kurikulum secara Nasional, menurut hemat penulis apapun kurikulumnya tentunya harus berbarengan dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan bagi para guru itu yang seyogyanya harus diutamakan lebih-lebih bagi para guru yang mengabdikan dirinya di daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari informasi maupun tekhnologi dalam melaksanakan proses pembelajaran, karena tidak bisa disamakan antara guru yang ada di perkotaan dengan para guru yang berada di daerah terpencil dalam muatan kurikulumnya nanti, ini yang semestinya harus dipikirkan oleh para pengambil kebijakan di tingkat Nasional. Kelemahan yang terjadi sekarang, seyogianya harus selalu dievalusi untuk menciptakan kredibilitas sertifikasi bagi para guru, yang memang sudah lulus sertifikasi. Menjadi persoalan yang sangat penting, menurut hemat penulis adalah kelanjutan dari pasca program sertifikasi guru itu sendiri. Jika sertifikasi guru hanya berhenti pada perolehan tunjangan profesi saja, maka yang akan terjadi upaya untuk meningkatkan kualitas para guru hanya akan sia-sia saja. Manakala, jika tidak ada tindak lanjutnya. Dengan tetap menghormati guru yang berkerja sepenuh jiwa, ada juga guru yang berkerja sekadarnya saja. Tidak semua guru memiliki kesadaran internal untuk meningkatkan kualitas dirinya. Memang jaminan hidup bagi para guru adalah sebuah kewajaran dan mutlak adanya, akan tetapi ada juga sebagian guru yang mengejar status PNS, untuk kepentingan pragmatisnya nanti di hari tua. Keadaan guru yang hetorogen, jelas tentunya tidak bisa digeneralisir antara satu sama lainnya. Ada juga guru yang memang tertantang untuk mengasah kompetensinya dengan jaminan kesejahtraan, akan tetapi ada juga guru yang kualitasnya tidak berkembang meskipun sudah cukup mapan secara finansial.
Maka, menurut hemat penulis tidak ada salahnya pemerintah memprogramkan uji sertifikasi bagi guru secara periodik dan perubahan Kurikulum secara Nasional. Artinya, guru-guru yang telah mendapatkan sertifikat pendidik tetap perlu untuk diuji lagi agar tetap terjaga pemilikan kualitasnya, untuk wacana perubahan Kurikulum juga harus memikirkan kualitas guru dan kesiapan sekolah dalam menerapkannya terutama dari segi media pembelajaran yang ada di daerah terpencil tidak bisa disamakan dengan yang ada di Perkotaan ini yang harus dijadikan acuan dalam melakukan perubahan Kurikulum oleh para pengambil kebijakan. Tentu saja, kesadaran internal guru tetap diperlukan untuk terus mengembangkan kualitas dirinya. Dengan tingkat kesejahtraan yang memadai, guru semestinya tidak lagi kesulitan untuk dapat membeli buku-buku serta media yang terkait dengan bidang profesinya masing-masing. Kegiatan-kegiatan ilmiah dan berbagai jenis kegiatan peningkatan kapasitas lainnya diikuti guru tanpa harus berpikir kekurangan kebutuhan finansial untuk mengepulkan asap dapurnya.
Untuk itu, penulis berharap Dengan adanya Wacana Perubahan Kurikulum Secara Nasional oleh Pemerintah belakangan ini yang sangat hangat dibahas, perlu untuk dijadikan catatan bukan hanya barometernya melihat kondisi di perkotaan tetapi juga harus dilihat kondisi di daerah-daerah terpencil apakah sudah siap atau belum dalam menerapkannya nanti dan tentunya kita semua juga berharap pendidikan selalu siap untuk menunggu sosok-sosok guru yang profesional dan mapan secara ekonomi. Dengan tingkat kesejahtraan yang memadai, guru diharapkan dapat berkerja secara profesional dan penuh dedikatif untuk senantiasa mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga…! ).Penulis adalah, Kepala Sekolah SMAS "Manggala Mandiri" Kecamatan Pinoh Selatan Kabupaten Melawi Kalimantan Barat dan Alumni STAIN Pontianak 2009.
Nama : Dedi Suparjo
Alamat : Desa Manggala Kecamatan Pinoh Selatan Kabupaten Melawi
KEBERHASILAN proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sang guru. Guru merupakan pelaku utama di sekolah formal maupun non-formal untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkepribadian yang baik, memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, sehat jasmani maupun rohani serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sosok sang guru adalah orang yang dapat dipercaya dan diteladani oleh seluruh siswanya serta lingkungannya.
Seiring dengan perkembangan zaman, profesi guru tempo dulu dihormati dan menempati posisi terpandang di mata masyarakat lambat laun mengalami pergeseran. Pergeseran posisi guru disebabkan berbagai faktor, antara lain moralitas guru yang kadang tidak terjaga, kurangnya kemampuan profesi yang dimiliki oleh guru, dan tingkat ekonomi guru yang masih rendah. Terkait dengan moralitas, banyak ditemui guru-guru yang justru tidak mencerminkan sikap dan perilaku terpuji, sehingga tidak layak untuk diteladani oleh siswa-siswanya dan penulis tidak menafikan banyak juga para guru yang memiliki prestasi namun kurang mendapatkan
perhatian dari para pengambil kebijakan. Tingkat kesejahtraan guru yang kurang terjamin memaksa guru untuk mencari kerjaan tambahan, sehingga dapat melemahkan konsentrasinya pada peningkatan kualitas dan kapasitas dirinya. Guru berkecendrungan untuk mengajar dan mendidik para siswa ala kadarnya, bahkan sekedar masuk kelas tanpa adanya target belajar yang jelas dan terarah.
Oleh karena itu, upaya untuk menempatkan guru dalam posisi yang terhormat sebagai sosok pencetak generasi unggul bangsa mutlak untuk dilakukan. Selain itu, guru tentunya harus memiliki kualitas yang lebih baik, termasuk juga kesejahtraan yang memadai. Sehingga, tingkat kesejahtraan guru dapat terjamin, harapannya manakala bisa berbanding dengan lurus sesuai dengan profesionalitas guru itu sendiri. Sosok seorang guru sebagai sebuah profesi menghendaki profesionalitas dan kesejahtraan finansial yang berjalan beriringan. Maka, niat baik dari pemerintah menyejahtrakan guru perlu untuk kita apresiasi dimana dalam beberapa waktu dekat ini gaji guru akan dinaikan sebesar 100 %. Data Depdiknas menyebutkan dengan kenaikan itu, gaji terendah untuk guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan II/B bisa mencapai tidak bersertifikat (0 tahun) yang semula hanya Rp. 1,55 Juta akan naik sebesar Rp. 2,07 Juta. Sementara gaji untuk guru PNS tertinggi dengan golongan IV/E bersertifikat (0 tahun) yang semula hanya Rp. 2,43 juta menjadi Rp. 5,42 juta. Itu belum ditambah lagi tunjangan khusus bagi guru-guru yang berada di daerah-daerah terpencil sebesar Rp. 5,1 juta dan tunjangan lainnya. Jika kita total, setiap bulannya guru akan menerima gaji sebesar Rp. 10 juta (Agus Wibowo : 2008). Di sisi lain, kita melihat kesejahtraan guru non-PNS seyogianya juga mesti harus diperhatikan oleh pemerintah. Pada dasarnya, penggajian guru PNS dan non-PNS tidaklah semestinya harus dibedakan. Dalam Recommendation Concerning The Status of Teachers yang dirumuskan oleh UNISCO dan ILO pada 5 Oktober 1966 menyebutkan bahwa guru apapun statusnya memperoleh penggajian yang sama secara proporsional (Pasal 60). Bahkan, dalam pasal 124 merekomendasikan bahwa penggajian guru didasarkan pada posisi guru yang merupakan pekerja dan memiliki hak sebagai seorang pekerja.
Menunggu Sang Guru yang Profesional
Siapapun kita, yang jelas mengharapkan agar tingkat kesejahtraan guru berbanding lurus dengan tingkat kualitas guru. Munculnya UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang menggariskan kebijakan profesionalisasi guru seakan menjadi angin segar bagi perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia. Proses peningkatan kemampuan guru dalam mencapai kriteria standar profesi ini tidak serta merta berjalan secara optimal. Kendala-kendala masih sangat banyak dijumpai terkait pelaksanaan program sertifikasi guru yang sudah mulai dilaksanakan dan masih akan terus untuk dilaksanakan. (Lihat : Para Guru).
Berdasarkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru merupakan tenaga profesional yang memiliki hak dan juga kewajiban untuk menjadi profesional. Dijelaskan jika kita membaca UU. No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen Bab IV, guru wajib untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Adapun kualifikasi akademik, profesi guru harus diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Selain itu, guru juga harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Jadi, selain guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi, guru juga perlu memiliki sertifikat pendidik. Untuk itu, sebagai bagian dari peningkatan mutu guru, pemerintah seyogyanya harus tetap menggelar program sertifikasi guru. Bagi kita yang ingin menjadi calon guru dan sudah menjadi guru, hendaknya mempersiapkan diri dari sekarang untuk mengikuti sertifikasi yang memang menjadi bagian dari pendidikan profesi, sedangkan yang sudah berstatus menjadi guru dilaksanakan secara mandiri dan berkesinambungan.
Terkait dengan intervensi pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, melalui program sertifikasi selain itu guru juga perlu untuk terus diberikan apresiasi lebih-lebih isu yang sangat hangat kita dengar belakangan ini adanya wacana dari pemerintah untuk mengubah Kurikulum secara Nasional, menurut hemat penulis apapun kurikulumnya tentunya harus berbarengan dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan bagi para guru itu yang seyogyanya harus diutamakan lebih-lebih bagi para guru yang mengabdikan dirinya di daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari informasi maupun tekhnologi dalam melaksanakan proses pembelajaran, karena tidak bisa disamakan antara guru yang ada di perkotaan dengan para guru yang berada di daerah terpencil dalam muatan kurikulumnya nanti, ini yang semestinya harus dipikirkan oleh para pengambil kebijakan di tingkat Nasional. Kelemahan yang terjadi sekarang, seyogianya harus selalu dievalusi untuk menciptakan kredibilitas sertifikasi bagi para guru, yang memang sudah lulus sertifikasi. Menjadi persoalan yang sangat penting, menurut hemat penulis adalah kelanjutan dari pasca program sertifikasi guru itu sendiri. Jika sertifikasi guru hanya berhenti pada perolehan tunjangan profesi saja, maka yang akan terjadi upaya untuk meningkatkan kualitas para guru hanya akan sia-sia saja. Manakala, jika tidak ada tindak lanjutnya. Dengan tetap menghormati guru yang berkerja sepenuh jiwa, ada juga guru yang berkerja sekadarnya saja. Tidak semua guru memiliki kesadaran internal untuk meningkatkan kualitas dirinya. Memang jaminan hidup bagi para guru adalah sebuah kewajaran dan mutlak adanya, akan tetapi ada juga sebagian guru yang mengejar status PNS, untuk kepentingan pragmatisnya nanti di hari tua. Keadaan guru yang hetorogen, jelas tentunya tidak bisa digeneralisir antara satu sama lainnya. Ada juga guru yang memang tertantang untuk mengasah kompetensinya dengan jaminan kesejahtraan, akan tetapi ada juga guru yang kualitasnya tidak berkembang meskipun sudah cukup mapan secara finansial.
Maka, menurut hemat penulis tidak ada salahnya pemerintah memprogramkan uji sertifikasi bagi guru secara periodik dan perubahan Kurikulum secara Nasional. Artinya, guru-guru yang telah mendapatkan sertifikat pendidik tetap perlu untuk diuji lagi agar tetap terjaga pemilikan kualitasnya, untuk wacana perubahan Kurikulum juga harus memikirkan kualitas guru dan kesiapan sekolah dalam menerapkannya terutama dari segi media pembelajaran yang ada di daerah terpencil tidak bisa disamakan dengan yang ada di Perkotaan ini yang harus dijadikan acuan dalam melakukan perubahan Kurikulum oleh para pengambil kebijakan. Tentu saja, kesadaran internal guru tetap diperlukan untuk terus mengembangkan kualitas dirinya. Dengan tingkat kesejahtraan yang memadai, guru semestinya tidak lagi kesulitan untuk dapat membeli buku-buku serta media yang terkait dengan bidang profesinya masing-masing. Kegiatan-kegiatan ilmiah dan berbagai jenis kegiatan peningkatan kapasitas lainnya diikuti guru tanpa harus berpikir kekurangan kebutuhan finansial untuk mengepulkan asap dapurnya.
Untuk itu, penulis berharap Dengan adanya Wacana Perubahan Kurikulum Secara Nasional oleh Pemerintah belakangan ini yang sangat hangat dibahas, perlu untuk dijadikan catatan bukan hanya barometernya melihat kondisi di perkotaan tetapi juga harus dilihat kondisi di daerah-daerah terpencil apakah sudah siap atau belum dalam menerapkannya nanti dan tentunya kita semua juga berharap pendidikan selalu siap untuk menunggu sosok-sosok guru yang profesional dan mapan secara ekonomi. Dengan tingkat kesejahtraan yang memadai, guru diharapkan dapat berkerja secara profesional dan penuh dedikatif untuk senantiasa mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga…! ).Penulis adalah, Kepala Sekolah SMAS "Manggala Mandiri" Kecamatan Pinoh Selatan Kabupaten Melawi Kalimantan Barat dan Alumni STAIN Pontianak 2009.
Nama : Dedi Suparjo
Alamat : Desa Manggala Kecamatan Pinoh Selatan Kabupaten Melawi
0 comments:
Post a Comment