BAB I
LEBIH DEKAT MENGENAL OLAHRAGA
BELADIRI TARUNG DERAJAT “AA-BOXER”
A. Latar Belakang Tarung Derajat
Olahraga Tarung Derajat diciptakan oleh seorang putra bangsa Indonesia yaitu Sang Guru (Haji Achmad Dradjat, Drs.), yang akrab disapa dengan nama populernya “AA-BOXER”. Olahraga ini dilahirkannya sebagai suatu seni ilmu beladiri dengan memiliki aliran dan wadah tersendiri tanpa berapliasi dengan aliran lain dan organisasi beladiri lainnya yang ada di bumi Indonesia, serta tidak mengadopsi dan bukan gabungan dari beladiri lain seperti pencak silat, karate, taekwondo, kempo, judo, gulat dan tinju. Namun, keberadaan Tarung Derajat tidak juga muncul dengan sendirinya, akan tetapi memiliki latar belakang suatu riwayat perjalanan hidup Sang Guru dan diridhoi oleh keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
Beladiri ini, lahir atau muncul dari pengalaman hidup yang pernah dilakoni oleh Sang Guru dimana sekitar tahun 1968 hingga tahun 1970-an, anak muda ini waktu itu sering terlibat aksi kekerasan pisik, penganiayaan, perkelahian, pemerasan, dan penghinaan (AD/ART Kodrat: 1994). Keadaan itu, tentu bukan dia yang memulainya, tapi timbul dalam keterpaksaan “kalau ada orang yang menjahati saya, masak saya diam saja? katanya dalam (Matra, Mai: 1997). Dari berbagai perkelahian dengan pereman di pusat kota Bandung-Jawa Barat, Sang Guru selalu menang, pada hal dilihat dari postur tubuhnya yang berbobot sedang tidak meyakinkan untuk mengatasi lawan.
Melihat kehebatan Sang Guru waktu itu, rupanya banyak dari gorombolan pereman yang tidak suka dengannya, maka kelompok peremanisme membuat suatu siasat untuk menghabisi Sang Guru. Mengingat jumlah preman cukup banyak, maka dia segera menghindar dari gorombolan itu. Tapi mereka terlanjur dikuasai emosi segera mengejar Sang Guru seraya meneriakkan maling. Mendengar teriakan itu, orang-orang yang tengah berada di pasar malam ketika itu, ikut memburunya sampai ia terkepung dan ramai-ramai memukulinya sampai ia terkulai lemas dan kondisi tubuhnya sangat menyedihkan.
Semenjak peristiwa pahit itu, Sang Guru mulai merenung untuk menyisiasati diri, mengasah kemampuan mempelajari berbagai jenis beladiri antara lain pencak silat dan karate. Tapi ia tetap tidak puas, alasannya semua itu belum bisa membalas sakit hatinya. Pertanyaan selalu muncul dalam benaknya “Jenis beladiri apakah yang bisa mengangkat kehormatan saya supaya tidak dihina dan disakiti orang?” Kemudian timbul pikiran dalam dirinya untuk menciptakan teknik beladiri dari berbagai beladiri yang pernah dipelajarinya yaitu memadukan lima unsur fungsi gerakan beladiri, seperti: memukul, menendang, menangkis, membanting dan mengelak. Setiap hari kelima fungsi ini diputuskannya dipelajari, diasosiasi dan dipraktekkan sendiri dalam kehidupannya, minimal empat jam sehari dia berlatih dan menemukan teknik-teknik praktis dan efektif, serta merangkai gerakan seni beladiri yang akrobatis dan indah ditonton oleh masyarakat.
Setelah merasa matang dengan ilmu baru yang dia kemas (konsep) sendiri dan dipraktekkannya kepada orang-orang yang mencoba memeras atau membuat masalah selalu dilayaninya. Para berandal dianggap Sang Guru paling tepat untuk menguji teknik beladirinya itu. Ketika itu “terpukul oleh lawan, kok tidak terasa sakit?” tanyanya kepada diri sendiri. “Kesaktian” itu rupanya cukup membawa manfaat. Setiap kali ada orang yang dianiaya atau disakiti oleh berandalan (preman), maka Sang Guru bisa berbuat sesuatu menegakkan kebenaran. Dari sinilah namanya mulai dikenal sebagai pembela orang-orang yang disakiti secara pisik dengan sebutan AA-BOXER yang memiliki kemampuan beladiri yang luar biasa, yakni bertenaga: kuat, cepat, tepat, berani dan ulet, sehingga dia sering menyebutnya keberhasilan pergerakanTarung Derajat sebagai dasar filosofis gerak tubuh ditentukan oleh lima khas kunci kemampuan.
Tak heran lagi, nama Sang Guru yang mendapat julukan AA-BOXER semakin populer dan menjadi jagoan bertarung tersiar kemana-mana di tanah air. Sehingga banyak orang-orang berdatangan minta diajari beladiri ciptaannya, mulai dari anak muda sampai orang tua. Waktu itu Sang Guru malah kebingungan. “Apa yang harus saya ajarkan katanya?”. Sebab ia sendiri mengaku tidak memiliki teknik atau jurus yang baku (Matra, 1997). Karena masih merasa bingung menghadapi anak yang belajar yang cukup banyak, malah metode yang diterapkan Sang Guru menyuruh teman-temannya (anak yang belajar) menyerang ramai-ramai dan merelakan tubuhnya dipukuli, walau kadang-kadang membalas juga. Begitulah perjalan praktek cara mengajarkan kepada orang lain dan disamping menerapkan apa yang berkembang pada saat itu.
Dari pengalaman praktek mengajarkan ilmu beladiri ini, Sang Guru menerima berbagai masukan dari teman-teman agar menata dan mensistematiskan jurus-jurus yang telah diciptakannya yang berkembang secara alamiah agar menemukan bentuk-bentuk gerakan baku untuk dijadikan fungsi beladiri yang dinamis, praktis dan efektif untuk diajarkan. Disamping itu juga mensinergiskan unsur filosofis, pedagogis, kultural, kesehatan olahraga, sosialogis, dan menerapkan ilmiah olahraga.
B. Perguruan Pusat Beladiri Tarung Derajat
Perkembangan setelah empat tahun kemudian, tepatnya 18 Juli 1972. Masyarakat semakin banyak ingin belajar beladiri Tarung Derajat, maka waktu inilah Sang Guru memproklamasikan berdirinya aliran beladiri AA-BOXER atau “metode beladiri Drajat” yang sekarang disebut Perguruan Pusat KawahTarung Derajat. Dalam perjalanannya beladiri ini dikenal dengan nama Boxer. Pada perguruan pusat inilah Tarung Derajat dikembangkan, baik dari segi ilmu dan keilmuannya maupun dari segi pemasalannya kepada masyarakat.
Dari tahun ke tahun perguruan semakin banyak memiliki murid, tapi tidak semuanya berniat untuk belajar utuh. Kenyataanya masih banyak orang-orang yang ingin “mencoba-cobanya”. Caranya mereka pura-pura masuk menjadi anggoata boxer, niatnya hanya mencari sisi lemah perguruan saja. Jadi cukup banyak suka dan dukanya, bahkan lima tahun sejak perguruan berdiri (1972 sampai 1978) banyak kendala dan rintangan yang dihadapi. Suatu hal yang lumrah dalam sebuah perjuangan. Kendala dan rintangan datang bukan hanya dari dalam perguruan sendiri, tapi juga datang dari luar. Kendati demikian, sang Guru berusaha tetap tegar dan ulet dalam menyikapi setiap kendala yang datang, malah Sang Guru menjadikan hal itu sebagai potensi untuk mendukung perguruan agar lebih maju lagi (Tabloid BOM edisi 27, Agustus 1999). Keadaan yang demikian menunjukkan bahwa, beladiri Tarung Derajat bukan lagi miliknya pribadi Sang Guru, akan tetapi kepemilikannya itu sudah melibatkan banyak pribadi masyarakat luas dari berbagai kalangan, suku, agama dan budaya.
Menyadari hal yang demikian dalam kurun waktu antara 1978 sampai 1983, Sang Guru mengadakan penelitian dan mengembangkan beladirinya, yaitu dengan menata ulang dasar teknik dan meramu seni gerak dari jurus Boxer kemudian mematenkan lambang Boxer (Tarung Derajat) sebagai hasil ciptaannya. Pada waktu ini, sang guru menemukan sebuah buku tentang ilmu hayat, buku tersebut mengilhami beladiri ini mengenai fungsi dan anatomi tubuh manusia yang menunjukkan bagian mana saja yang bisa dikuatkan untuk memukul dan menendang serta bagian mana sisi lemah dari kemampuan manusia. Dari sinilah Sang Guru dapat menemukan teknik jurus yang mengoptimalkan kekuatan pukulannya, yaitu dengan menggabungkan lima unsur utama khas Boxer, yakni: kekuatan, kecepatan, ketepatan, keberanian, dan keuletan. Semua unsur itu dapat berfungsi sebagai pertahanan diri dan menerapkan prinsip “menyerang untuk menang” dengan menerapkan falsafah dalam pembentukan keuletan diri untuk berlatih adalah “berlatih beladiri tarung derajat adalah untuk menaklukan diri sendiri, tapi bukan untuk ditaklukkan orang lain” (AD/ART KODRAT, 1994).
Setelah penataan teknik boxer dilakukan sebagai kemampuan otot (pisik), serta untuk keseimbangan pikiran (intelektual) dan nurati (sikap mental) untuk menemukan jatidiri sebagai “Kesatria Pejuang dan Pejuang Kesatria”, maka sang guru menerapkan sebuah motto yaitu: “Aku ramah bukan berarti takut, aku tunduk bukan berarti takluk” Pesan ini selalu ditekankan kepada anak didik yang menekuni Tarung Derajat yang diformulasikan pada setiap latihan dilakukan. Semua kemampuan (otot, otak, dan nurani) diaplikasikan dalam urutan materi latihan yang sudah disusun berdasarkan “kurikulum” formalitas beladiri Tarung Derajat dan materi latihan disesuaikan dengan tingkatan (Kurata) singkatan ---kuat, berani, dan tangkas) –SK Sang Guru Tarung Derajat no. 16/KEP GUTAMA/STD/XII/1991. Kurata terdiri dari tujuh tingkatan Kurata I s/d Kurata VII. Tingkat lanjutan Kurata adalah tingkat “ZAT” yang ditandai memakai sabuk hitam.
Di samping penatan teknik beladiri yang dipelajari secara khusus, kemudian juga dikemas melalui perguruan ini teknik bertarung yang diperlombakan atau yang mengarah kepada olahraga prestasi yang memakai peraturan dan ketentuan yang harus diikuti oleh semuat atlet/petarung. Dalam olahraga ini juga dikenal rangkaian gerak (Ranjer) dan beladiri praktis. Perkembangan Boxer dari tahun 1981 s/d 1983 agak mengalmi staknasi, yaitu peminatnya malah berkurang, pada hal kurikulum dan materi latihan sudah disesuaikan dengan tuntutan tingkatan dan seni geraknya telah dipermantap tak jauh berbeda dengan kata dalam olahraga karate, nomor seni dalam pencak silat. Sang Guru pernah berkata, mungkin karena beladiri ini terlanjur dicap sebagai olahraga keras, sehingga konotasinya olahraga Boxer berkelahi jalanan. Dari tantangan tersebut Sang Guru lebih banyak belajar lagi, baginya seolah tiada hari tanpa belajar. Ilmu-ilmu beladiri lain, ia jadikan sebagai bahan bandingan dari hasil penelitian-pengembangan, kemudian diuji, sebelum resminya berdiri olahraga Tarung Derajat dijadikan olahraga prestasi dan dipertandingkan.
C. Tarung Derajat Menuju Olahraga Prestasi
Dari kurun waktu lima tahun yakni tahun 1984 sampai 1988, Sungguhpun peminat dan pencita Boxer pada waktu ini agak mengalami penurunan, namun itu tadak menjadi halangan bagi Sang Guru untuk lebih mengembangkan beladirinya ke semua strata masyarakat termasuk pada kalangan militer diberbagai kesatuan. Pada saat ini pulalah Sang Guru banyak mendapat tantangan terutama kritikan yang muncul dimasyarakat yakni “kalau mau jadi jagoan, jangan Cuma dijalanan, cobalah buat kejuaraan/pertandingan yang bisa melihat kemampuan beladiri Boxer pada suatu arena (matras/reng)”. Dari kritikan inilah Sang Guru mencoba menata struktur organisasi dari perkumpulan Satuan Latihan (Satlat) yang ada di Kota Bandung dan daerah sekitarnya. Tekat pertama adalah bagaimana mengujudkan boxer bisa dipertandingkan sama dengan cabang beladiri lain.
Membentuk olahraga prestasi yang dibuktikan melalui pertandingan, harus ada kaidah-kaidah, ketentuan-ketentuan, dan peraturan yang baku untuk diterapkan dalam sebuah parameter keolahragaan. Untuk memenuhi tuntutan maka dirancanglah teknik-teknik yang khas Aa-boxer untuk dipertandingkan. Merancang sarana untuk pertandingan, seperti arena tarung, pakaian tanding, dan alat-alat yang digunakan oleh tenaga pelaksana. Mencetak para wasit-juri yang akan menjalankan ketentuan-ketentuan dan peraturan pertandingan. Mengkondisikan bagaimana supaya pertandingan itu ramai disaksikan oleh penonton, memikat dan menarik.
Pada tahun 1988, Boxer pertama kali mengadakan kejuaraan yang disebut “Tarung Bebas AA-BOXER CUP” di Kota Bandung. Semenjak itulah beladiri ini semakin dikenal oleh masyarakat. Malah yang sangat tertarikt secara emosional waktu itu adalah Panglima Daerah Militer (Pangdam) III/Siliwangi yaitu Mayor Jenderal Arie Sudewo. Kedekatan beliau dengan Boxer, sampai sekarang Bapak Arie Sudewo masih setia menjadi Pembina Utama pada Pengurus Besar (PB) Tarung Derajat. Disamping itu, tercatat juga Wali Kota Bandung waktu itu Bapak Otje Djundjunan (suami) Ibu Dra. Ny. Hj Popong R. Otje Djundjunan yang sampai sekarang Ibu Otje masih menjadi pembina PB Tarung Derajat.
Kejuaraan pertama yang disebut “Tarung Bebas” menerapkan beberapa faktor teknis yang berkembang secara almiah, yaitu memakai prinsip “menyerang untuk menang” sebagai tabu bagi petarung. Perolehan nilai atau poin untuk pemenang, memakai sistem perkenaan langsung (full body contact) sebagai khas utama olahraga Boxer. Dasar penerapan teknik bertanding, menerapkan lima unsur beladiri, yaitu memukul, menendang, menangkis, membanting dan mengelak. Pembentukan mental yang membaja petarung menerapkan lima kunci unsur kemampuan, yaitu kekuatan, kecepatan, ketepatan, keberanian, dan keuletan (Sang Guru dalam GO, 1996). Sebelum peterung (atlet) diterjun kearena kejuaraan, semuanya dibekali dengan kualitas teknik yang sama dan memiliki sertifikasi petarung minimal pemegang tingkatan Kurata IV. Kemudian, supaya perbedaan bobot badan jangan mencolok, pertimbangan berat badan adalah menjadi ukuran nomor atau kelas pertandingan yang diklasifikasikan mulai dari kelas ringan (49 kg ke bawah) sampai kelas bebas (65 kg ke atas).
Atas dasar penilaian kemampuan petarung yang memiliki indikasi kemampuan yang sama secara kualitas teknik, maka tidak ada dikenal istilah petarung unggulan. Semua petarung dianggap sama, tidak dipersoalkan ia dari tingkatan kurata IV (sabuk biru), kurata VI (sabuk merah), dan tingkatan Zat (sabuk hitam). Atas dasar itulah, penempatan lawan tanding ditentukan secara undian (acak), mereka mengenal lawan tanding hanya beberapa saat menjelang pertandingan akan dimulai. Pengalaman dan pengembangan kemajuan telah banyak menunjukkan, bahwa petarung berperingkat kurata IV atau V menaklukan petarung tingkat Zat. Untuk itu, keterujian petarung tergantung kematangan menerima materi latihan dari pelatih dan pengalaman seringnya mengikuti kejuaraan lokal dengan mitra tanding sebelum berlaga pada kejuaraan “Tarung Bebas AA-BOXER Cup”.
Sukses pelaksaan kejuaran yang pertama, tentu dengan ada beberapa cacatan Litbang Perguruan Boxer, maka tahun 1991 digelar kejuaraan Tarung Bebas AA-BOXER Cup II dan tahun 1994 kejuaraan Tarung bebas AA-BOXER Cap III atau disebut juga kejuaraan Tarung Bebas Bandung Raya Cup. Tahun 1995 digelar Kejurnas IV Tarung Bebas Boxer. Pada tahun 1996 kejuaraan Piala AA-BOXER V (kejurnas V). Harapan yang strategis Perguruan AA-BOXER untuk masuk menjadi anggota KONI Pusat hampir terbuka lebar yakni dengan terpenuhinya persyaratan 5 (lima) kali mengadakan kejuaran yang bersekala Nasional, maka olahraga Beladiri Tarung Derajat kualifikasi cabang akan diakui oleh KONI Pusat sebagai cabang olahraga prestasi resmi dipertandingkan pada Pekan Olahraga Nasional (PON). Namun untuk pengakuan secara resmi perlu menata secara teknis lagi bentuk dan khas yang diterapkan anatara kejuaraan AA-BOXER Cup I samapai Kejurnas V hampir sama, yaitu memakai sistem perkenaan langsung (full body contact) tanpa pelindung yang menyangkut dengan keselamatan petarung, baik wajah, badan, selangkangan, gigi, kepalan tangan dan kesan brutal yang berlebihan sudah menjadi catatan Litbang KONI Pusat.
D. Tarung Derajat Resmi Jadi Anggota Koni Pusat
Tekat yang kuat untuk menjalankan organisasi mulai terwadahi dari terbentuknya Kepengurusan Pusat Tarung Derajat Priode 1991-1994 dibawah kepemimpinan Ketua Umum Brigjend. TNI. HMA. Sampoerna. Waktu pertama kali mengadakan musyawarah Nasional keanggotan daerah pada tahun 1992 baru mencapai 10 wilayah. Seiring rentangan waktu dan perkembangan kemajuan yang dicapai oleh organisasi Boxer yang pada tahun 1994 sudah memasyarakat pada 15 propinsi di Indonesia. Daerah yang dimaksud pada waktu itu adalah: Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY Yogyakarta, Bali, NTB, Lampung, Sumsel, Jambi, Riau, Sumbar, Sumut, Kaltim, dan Kalbar (data ST, No. Istimewa/PB/VI/1994).
Kelayakan perkembangan bidang organisasi yang diminta oleh KONI Pusat sudah terpenuhi yakni persyaratan hanya 10 daerah dan malah sudah melebi target yaitu mencapai 15 daerah. Namun dari segi bidang pengembangan dan penelitian teknis masih banyak yang harus dipenuhi untuk jadi cabang olahraga keanggotaan KONI Pusat, Indra Jati Sidi waktu itu selaku Litbang KONI Pusat menyebutkan “Kalau boxer sudah masuk KONI Pusat dan dipertandingkan di PON atau tempat yang lebih tinggi lagi, perlu dipertimbangkan penggunaan alat pelindung (body protector). Sementara selama ini, body protector tidak ada dalam tradisi Boxer (Tabloit GO, 1996). Kemudian masalah nama cabang olahraga “Boxer” yang kesannya nama yang diadopsi dari cabang Boxing/tinju, kick boxing ala Amerika dan Thai-Boxing ala Thailand, agaknya perlu disempurnakan.
Menanggapi hal yang demikian, maka Sang Guru, sebagai pemimpin Perguruan Boxer-Seni Keperkasaan AA-Boxer, masih bertahan dengan tradisi dan ciri khas yang ada: pertarungan Boxer tetap olahraga contak langsung (full body contact) tanpa menggunakan alat pelindung. Alasan Sang Guru, “kalau pakai alat pelindung tubuh, boxer akan kehilangan ciri khasnya. Sepanjang sejarah boxer, belum ada petarung yang cacat tubuh, apalagi sampai meninggal karena adu pukul dan tendangan. Soal tetesan darah atau patah tangan itu biasa”.
Dengan demikian secara teknis masih terkendala untuk memenuhi syarat-syarat yang diminta KONI Pusat. Namun Sang Guru waktu itu, masih punya alternatif, yaitu: (1) bisa saja dipertahankan versi Boxer, pertarungan bebas tanpa pembedaan kelas dan tanpa alat pelindung segala macam khusus untuk nomor tradisional; (2) khusus untuk konsumsi KONI atau PON kelak, Boxer memakai alat pelindung badan/wajah (Bola, Agustus 1996). Mengenai nama organisasi pada prinsipnya tidak berkeberatan untuk mengganti, dulunya “Boxer” menjadi Keluarga Olaharaga Beladiri Tarung Derajat yang disingkat KODRAT.
Untuk meluluskan persyaratan resmi jadi anggota KONI Pusat, maka bidang pertandingan dan bidang teknik PB KODRAT bersama Sang Guru Tarung Derajat dan anggota Raparnas 9 Agustus 1996 agar mencari solusi yang terbaik, demi tercapainya cita-cita agar Tarung Derajat diakaui dan disejajarkan dengan cabang olahraga lainnya di Indonesia maupun diluar Negeri.
Akhirnya Sang Guru memutuskan “mengalah untuk menang” agaknya mesti diterapkan untuk konsumsi KONI dan PON Tarung Derajat memakai pelindung (body Protector) dengan memakai Gamsil untuk gigi, batok untuk selangkangan/kemaluan, dan hand box untuk kepalan tangan. Konsekwensi dari keputusan yang diambil Sang Guru, adalah anugrah kemenangan yang penantian cukup lama, tapi pasti, yaitu tepat pada tanggal 6 Januari 1997, KONI Pusat memutuskan Penerimaan Pengurus Besar Keluarga Olahraga Tarung Derajat (PB KODRAT) sebagai anggota Biasa KONI Pusat, nomor: 06/RA/1997.
E. Eksibisi Pekan Olahraga Nasional (PON) XV-2000
Setelah Tarung Derajat resmi diterima KONI Pusat yang tercatat sebagai anggota ke-53, maka secara organisasi dan pembenahan semua bidang terus ditingkatkan. Untuk konsolidasi organisasi pertama diadakanlah Musyawarah Nasional Ke I Keluaraga Olaharaga Tarung Derajat, pada tanggal 12-13 April 1997. Seiring dengan kegiatan ini, juga dilaksanakan Pelatihan Pelatih dan wasit-juri Nasional yan bertujuan untuk penyetaraan teknik guna mengantisipasi kekurangan pelatih dan menambah jumlah wasit-juri di daerah seluruh Indonesia. Dari kegiatan munas tersubut, melahirkan berbagai konsep untuk pengembangan tarung Derajat termasuk merancang program uji-coba kejurnas I yang bentukknya sudah mendekatik pelaksanan Multi Evan seperti PON yang sudah bisa mengakomodir rekomondasi dan petunjuk KONI Pusat terutama menerapkan alat pelindung pada bagian yang pital untuk keselamatan petarung secara ilmu kesehatan olahraga (sport medicine).
Tepat pada tanggal 5-6 Juli 1998 diadakanlah Kejurnas I Tarung Derajat di Kota Bandung Jawa Barat. Banyak memang perubahan yang diterapkan secara teknis dan non-teknis. Secara teknis misalnya, nomor/kelas yang dipertandingkan tujuh kelas, sebelumnya lima kelas. Non-teknis misalnya setiap daerah yang ikut hanya beleh satu petarung mengikuti satu kelas pertandingan, sebelumnya boleh satu daerah atletnya lebih pada satu kelas. Dengan cara demikian otomatis pendstribusian atlet setiap daerah akan merata dan peluang untuk menjadi pemenang akan semakain terbuka.
Perbedaan yang diterpkan pada kejurnas pertama, akan menampakkan perkembangan pembinaan olahraga prestasi berkembang di banyak daerah. Tarung Derajat sebelum resmi jadi anggota KONI Pusat, pembinaan olahraga prestasi terlihat berkembang hanya di Kota Bandung-Jawa Barat. Jadi menerapkan distribusi, prinsip hak sama, maka pada kejurnas I prestasi Cabang Olahraga Tarung Derajat sudah hampir merata di setiap daerah. Data prestasi Kejurnas I menunjukkan dari tujuh medali emas yang diperebutkan Jawa Barat meraih (4 emas, 1 perunggu), Sumbar (2 emas, 2 perak, 1 perunggu), dan NTB (1 emas).
Berdasarkan hasil evaluasi Kejurnas I yang dikemukakan oleh Ketua umum PB KODRAT priode 1997-2000, Letjen TNI (Purn) Serya Subrata dalam (PR, 1998) menyebutkan hasil musyawarah kerja Nasional dan kejurnas I tarung bebas telah menghasilkan berbagai tugas yang menuntut penangan baik dalam pembinaan organisasi maupun pembinaan prestasi. Dengan demikian, kenyataan itulah KONI Pusat juga memutuskan Tarung Derajat diikut sertakan pada PON XV-2000 Surabaya Jawa Timur untuk pertama kali sebagai cabang olahraga Eksibisi.
Pertandingan PON XV-2000 Surabaya, adalah akumulasi dari semua perbaikan yang dilakukan dari semua bidang yang ada pada PB KODRAT. Nomor/kelas yang diperebutkan pada PON XV yakni 9 kelas dengan medali (9 emas, 9 perak, 18 perunggu). Tercatat juga sebagai pertandingan yang sukses penyelenggaraannya dan tidak ada terjadi suatu keributan serta kericuhan. Di samping itu terkesan juga Tarung Derajat berdisiplin tinggi, sebagai bukti, walau cabang eksebisi waktu itu, semua kegiatan yang disusun oleh PB PON XV-2000, dari awal pembukaan sampai penutupan diikuti secara tertip dan teratur. Hal itulah yang menjadikan Tarung Derajat untuk bisa berkembang dan contoh oleh masyarakat Indonesia, serta menjadi catatan akreditasi KONI Pusat untuk masuk menjadi cabang olahraga prestasi pada “multi event PON XVI-2004”.
F. Resmi Mengikuti Kejuaraan Multi Event PON XVI-2004 Palembang
Jadi lahirnya ilmu beladiri yang bernama “Tarung Derajat” sebenarnya bersumber, dicari dan digali dari alam nan luas dengan segala aspek kehidupannya, kemudian diangkat kepermukaan sebagai hasil suatu Pengalaman dan renungan hidup Sang Guru (Haji Achmad Dradjat, Drs.). Untuk kemudian “dicetak” melalui perjuangan masa yang panjang, usaha dengan tekat yang keras, penganalisaan yang tajam, rasional untuk diterima, realistis untuk dipahami, dinamis dalam pergerakan, praktis dilaksanakan dan evektif untuk digunakan. Diharapkan belajar beladiri “Tarung Derajat” dapat mengujudkan “manusia yang berhakekat manusia” sebagai lambang pribadi mandiri BOXER yang menjadi logo Tarung Derajat atau induk organisasi KODRAT.
Makna yang tercantum dalam pribadi mandiri BOXER yang dimanipestasikan dalam setiap insan masyarakat yang mengikuti kegiatan latihan Tarung Derajat. Merupakan keharusan dan perlu disadari bahwa Tarung Derajat adalah sebagai wadah menampung minat, menyalurkan bakat dan hoby dalam rangka membentuk watak dan karakter pribadi yang mencerminkan manusia yang berhakekat manusia yang memiliki: kejujuran, kesetiaan, keberanian moral, budi pekerti, kemandirian, kepribadian, patriotisme, mental baja, rendah hati, jiwa besar, sabar, pemikiran yang positif, dan tanggung-jawab (AD/ART Kodrat: 1994). Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat dibutuhkan didalam pelaksanaan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang masyarakatnya adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Melalui masa yang panjang dan keterujian Tarung Derajat yang sudah pasti menempatkan dirinya menjadi yang terbaik untuk membangun bangsa dalam dunia olahraga, maka akhirnya Tarung Derajat tercatat dalam sejarah olahraga beladiri di Indonesia menjadi cabang resmi olahraga prestasi KONI Pusat yang pertama resmi dipertandingkan pada multi event PON XVI-2004 Palembang. Sekarang Tarung Derajat boleh bangga dengan perjuangannya, namun usaha itu belum lengkap, kalau belum semua bangsa di dunia ini mengakuinya. Untuk itu, semboyan untuk membakar semangat Tarung Derajat agar lebih maju mendunia kata pembina utama PB KODRAT (Mayor Jenderal Arie Sudewo) dalam kesempatan penutupan Pelatihan Pelatih Dasar tingkat Nasional dalam rangka PON XVI-2004 di Palembang adalah “sekali Tarung Derajat eksis diakui KONI Pusat, selamanya tetap eksis ”. Pada kesempatan itu semua peserta pelatihan dari 20 daerah se Indonesia dan disangsikan Pengurus Daerah bersama Sang Guru menjawab BOX!! … BOX!!! . Ini pertanda pernyataan sikap seluruh anggota Keluarga Besar Tarung Derajat seutuhnya. Insya’ Allah, niat yang tulus dan iklas dikabulkan-Nya. Amin.
Bab II. PERKEMBANGAN ORGANISASI TARUNG DERAJAT
Bab III. MATERI PENGAJARAN DAN METODE PRAKTIS TARUNG DERAJAT
Bab IV. PERATURAN PERTANDINGAN TARUNG DERAJAT
Bab V. TES DAN PENGUKURAN PRAKTIS DALAM BELADIRI TARUNG DERAJAT
Berkat izin dan petunjuk Sang Guru, serta Ridho-Nya, mudah-mudahan buku jadi rampung. Amin
Penulis Drs.H.Alnedral
sumber: http://kodrat-sumbar.blogspot.com/2009/04/possting-pak-alnedral.html
LEBIH DEKAT MENGENAL OLAHRAGA
BELADIRI TARUNG DERAJAT “AA-BOXER”
A. Latar Belakang Tarung Derajat
Olahraga Tarung Derajat diciptakan oleh seorang putra bangsa Indonesia yaitu Sang Guru (Haji Achmad Dradjat, Drs.), yang akrab disapa dengan nama populernya “AA-BOXER”. Olahraga ini dilahirkannya sebagai suatu seni ilmu beladiri dengan memiliki aliran dan wadah tersendiri tanpa berapliasi dengan aliran lain dan organisasi beladiri lainnya yang ada di bumi Indonesia, serta tidak mengadopsi dan bukan gabungan dari beladiri lain seperti pencak silat, karate, taekwondo, kempo, judo, gulat dan tinju. Namun, keberadaan Tarung Derajat tidak juga muncul dengan sendirinya, akan tetapi memiliki latar belakang suatu riwayat perjalanan hidup Sang Guru dan diridhoi oleh keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
Beladiri ini, lahir atau muncul dari pengalaman hidup yang pernah dilakoni oleh Sang Guru dimana sekitar tahun 1968 hingga tahun 1970-an, anak muda ini waktu itu sering terlibat aksi kekerasan pisik, penganiayaan, perkelahian, pemerasan, dan penghinaan (AD/ART Kodrat: 1994). Keadaan itu, tentu bukan dia yang memulainya, tapi timbul dalam keterpaksaan “kalau ada orang yang menjahati saya, masak saya diam saja? katanya dalam (Matra, Mai: 1997). Dari berbagai perkelahian dengan pereman di pusat kota Bandung-Jawa Barat, Sang Guru selalu menang, pada hal dilihat dari postur tubuhnya yang berbobot sedang tidak meyakinkan untuk mengatasi lawan.
Melihat kehebatan Sang Guru waktu itu, rupanya banyak dari gorombolan pereman yang tidak suka dengannya, maka kelompok peremanisme membuat suatu siasat untuk menghabisi Sang Guru. Mengingat jumlah preman cukup banyak, maka dia segera menghindar dari gorombolan itu. Tapi mereka terlanjur dikuasai emosi segera mengejar Sang Guru seraya meneriakkan maling. Mendengar teriakan itu, orang-orang yang tengah berada di pasar malam ketika itu, ikut memburunya sampai ia terkepung dan ramai-ramai memukulinya sampai ia terkulai lemas dan kondisi tubuhnya sangat menyedihkan.
Semenjak peristiwa pahit itu, Sang Guru mulai merenung untuk menyisiasati diri, mengasah kemampuan mempelajari berbagai jenis beladiri antara lain pencak silat dan karate. Tapi ia tetap tidak puas, alasannya semua itu belum bisa membalas sakit hatinya. Pertanyaan selalu muncul dalam benaknya “Jenis beladiri apakah yang bisa mengangkat kehormatan saya supaya tidak dihina dan disakiti orang?” Kemudian timbul pikiran dalam dirinya untuk menciptakan teknik beladiri dari berbagai beladiri yang pernah dipelajarinya yaitu memadukan lima unsur fungsi gerakan beladiri, seperti: memukul, menendang, menangkis, membanting dan mengelak. Setiap hari kelima fungsi ini diputuskannya dipelajari, diasosiasi dan dipraktekkan sendiri dalam kehidupannya, minimal empat jam sehari dia berlatih dan menemukan teknik-teknik praktis dan efektif, serta merangkai gerakan seni beladiri yang akrobatis dan indah ditonton oleh masyarakat.
Setelah merasa matang dengan ilmu baru yang dia kemas (konsep) sendiri dan dipraktekkannya kepada orang-orang yang mencoba memeras atau membuat masalah selalu dilayaninya. Para berandal dianggap Sang Guru paling tepat untuk menguji teknik beladirinya itu. Ketika itu “terpukul oleh lawan, kok tidak terasa sakit?” tanyanya kepada diri sendiri. “Kesaktian” itu rupanya cukup membawa manfaat. Setiap kali ada orang yang dianiaya atau disakiti oleh berandalan (preman), maka Sang Guru bisa berbuat sesuatu menegakkan kebenaran. Dari sinilah namanya mulai dikenal sebagai pembela orang-orang yang disakiti secara pisik dengan sebutan AA-BOXER yang memiliki kemampuan beladiri yang luar biasa, yakni bertenaga: kuat, cepat, tepat, berani dan ulet, sehingga dia sering menyebutnya keberhasilan pergerakanTarung Derajat sebagai dasar filosofis gerak tubuh ditentukan oleh lima khas kunci kemampuan.
Tak heran lagi, nama Sang Guru yang mendapat julukan AA-BOXER semakin populer dan menjadi jagoan bertarung tersiar kemana-mana di tanah air. Sehingga banyak orang-orang berdatangan minta diajari beladiri ciptaannya, mulai dari anak muda sampai orang tua. Waktu itu Sang Guru malah kebingungan. “Apa yang harus saya ajarkan katanya?”. Sebab ia sendiri mengaku tidak memiliki teknik atau jurus yang baku (Matra, 1997). Karena masih merasa bingung menghadapi anak yang belajar yang cukup banyak, malah metode yang diterapkan Sang Guru menyuruh teman-temannya (anak yang belajar) menyerang ramai-ramai dan merelakan tubuhnya dipukuli, walau kadang-kadang membalas juga. Begitulah perjalan praktek cara mengajarkan kepada orang lain dan disamping menerapkan apa yang berkembang pada saat itu.
Dari pengalaman praktek mengajarkan ilmu beladiri ini, Sang Guru menerima berbagai masukan dari teman-teman agar menata dan mensistematiskan jurus-jurus yang telah diciptakannya yang berkembang secara alamiah agar menemukan bentuk-bentuk gerakan baku untuk dijadikan fungsi beladiri yang dinamis, praktis dan efektif untuk diajarkan. Disamping itu juga mensinergiskan unsur filosofis, pedagogis, kultural, kesehatan olahraga, sosialogis, dan menerapkan ilmiah olahraga.
B. Perguruan Pusat Beladiri Tarung Derajat
Perkembangan setelah empat tahun kemudian, tepatnya 18 Juli 1972. Masyarakat semakin banyak ingin belajar beladiri Tarung Derajat, maka waktu inilah Sang Guru memproklamasikan berdirinya aliran beladiri AA-BOXER atau “metode beladiri Drajat” yang sekarang disebut Perguruan Pusat KawahTarung Derajat. Dalam perjalanannya beladiri ini dikenal dengan nama Boxer. Pada perguruan pusat inilah Tarung Derajat dikembangkan, baik dari segi ilmu dan keilmuannya maupun dari segi pemasalannya kepada masyarakat.
Dari tahun ke tahun perguruan semakin banyak memiliki murid, tapi tidak semuanya berniat untuk belajar utuh. Kenyataanya masih banyak orang-orang yang ingin “mencoba-cobanya”. Caranya mereka pura-pura masuk menjadi anggoata boxer, niatnya hanya mencari sisi lemah perguruan saja. Jadi cukup banyak suka dan dukanya, bahkan lima tahun sejak perguruan berdiri (1972 sampai 1978) banyak kendala dan rintangan yang dihadapi. Suatu hal yang lumrah dalam sebuah perjuangan. Kendala dan rintangan datang bukan hanya dari dalam perguruan sendiri, tapi juga datang dari luar. Kendati demikian, sang Guru berusaha tetap tegar dan ulet dalam menyikapi setiap kendala yang datang, malah Sang Guru menjadikan hal itu sebagai potensi untuk mendukung perguruan agar lebih maju lagi (Tabloid BOM edisi 27, Agustus 1999). Keadaan yang demikian menunjukkan bahwa, beladiri Tarung Derajat bukan lagi miliknya pribadi Sang Guru, akan tetapi kepemilikannya itu sudah melibatkan banyak pribadi masyarakat luas dari berbagai kalangan, suku, agama dan budaya.
Menyadari hal yang demikian dalam kurun waktu antara 1978 sampai 1983, Sang Guru mengadakan penelitian dan mengembangkan beladirinya, yaitu dengan menata ulang dasar teknik dan meramu seni gerak dari jurus Boxer kemudian mematenkan lambang Boxer (Tarung Derajat) sebagai hasil ciptaannya. Pada waktu ini, sang guru menemukan sebuah buku tentang ilmu hayat, buku tersebut mengilhami beladiri ini mengenai fungsi dan anatomi tubuh manusia yang menunjukkan bagian mana saja yang bisa dikuatkan untuk memukul dan menendang serta bagian mana sisi lemah dari kemampuan manusia. Dari sinilah Sang Guru dapat menemukan teknik jurus yang mengoptimalkan kekuatan pukulannya, yaitu dengan menggabungkan lima unsur utama khas Boxer, yakni: kekuatan, kecepatan, ketepatan, keberanian, dan keuletan. Semua unsur itu dapat berfungsi sebagai pertahanan diri dan menerapkan prinsip “menyerang untuk menang” dengan menerapkan falsafah dalam pembentukan keuletan diri untuk berlatih adalah “berlatih beladiri tarung derajat adalah untuk menaklukan diri sendiri, tapi bukan untuk ditaklukkan orang lain” (AD/ART KODRAT, 1994).
Setelah penataan teknik boxer dilakukan sebagai kemampuan otot (pisik), serta untuk keseimbangan pikiran (intelektual) dan nurati (sikap mental) untuk menemukan jatidiri sebagai “Kesatria Pejuang dan Pejuang Kesatria”, maka sang guru menerapkan sebuah motto yaitu: “Aku ramah bukan berarti takut, aku tunduk bukan berarti takluk” Pesan ini selalu ditekankan kepada anak didik yang menekuni Tarung Derajat yang diformulasikan pada setiap latihan dilakukan. Semua kemampuan (otot, otak, dan nurani) diaplikasikan dalam urutan materi latihan yang sudah disusun berdasarkan “kurikulum” formalitas beladiri Tarung Derajat dan materi latihan disesuaikan dengan tingkatan (Kurata) singkatan ---kuat, berani, dan tangkas) –SK Sang Guru Tarung Derajat no. 16/KEP GUTAMA/STD/XII/1991. Kurata terdiri dari tujuh tingkatan Kurata I s/d Kurata VII. Tingkat lanjutan Kurata adalah tingkat “ZAT” yang ditandai memakai sabuk hitam.
Di samping penatan teknik beladiri yang dipelajari secara khusus, kemudian juga dikemas melalui perguruan ini teknik bertarung yang diperlombakan atau yang mengarah kepada olahraga prestasi yang memakai peraturan dan ketentuan yang harus diikuti oleh semuat atlet/petarung. Dalam olahraga ini juga dikenal rangkaian gerak (Ranjer) dan beladiri praktis. Perkembangan Boxer dari tahun 1981 s/d 1983 agak mengalmi staknasi, yaitu peminatnya malah berkurang, pada hal kurikulum dan materi latihan sudah disesuaikan dengan tuntutan tingkatan dan seni geraknya telah dipermantap tak jauh berbeda dengan kata dalam olahraga karate, nomor seni dalam pencak silat. Sang Guru pernah berkata, mungkin karena beladiri ini terlanjur dicap sebagai olahraga keras, sehingga konotasinya olahraga Boxer berkelahi jalanan. Dari tantangan tersebut Sang Guru lebih banyak belajar lagi, baginya seolah tiada hari tanpa belajar. Ilmu-ilmu beladiri lain, ia jadikan sebagai bahan bandingan dari hasil penelitian-pengembangan, kemudian diuji, sebelum resminya berdiri olahraga Tarung Derajat dijadikan olahraga prestasi dan dipertandingkan.
C. Tarung Derajat Menuju Olahraga Prestasi
Dari kurun waktu lima tahun yakni tahun 1984 sampai 1988, Sungguhpun peminat dan pencita Boxer pada waktu ini agak mengalami penurunan, namun itu tadak menjadi halangan bagi Sang Guru untuk lebih mengembangkan beladirinya ke semua strata masyarakat termasuk pada kalangan militer diberbagai kesatuan. Pada saat ini pulalah Sang Guru banyak mendapat tantangan terutama kritikan yang muncul dimasyarakat yakni “kalau mau jadi jagoan, jangan Cuma dijalanan, cobalah buat kejuaraan/pertandingan yang bisa melihat kemampuan beladiri Boxer pada suatu arena (matras/reng)”. Dari kritikan inilah Sang Guru mencoba menata struktur organisasi dari perkumpulan Satuan Latihan (Satlat) yang ada di Kota Bandung dan daerah sekitarnya. Tekat pertama adalah bagaimana mengujudkan boxer bisa dipertandingkan sama dengan cabang beladiri lain.
Membentuk olahraga prestasi yang dibuktikan melalui pertandingan, harus ada kaidah-kaidah, ketentuan-ketentuan, dan peraturan yang baku untuk diterapkan dalam sebuah parameter keolahragaan. Untuk memenuhi tuntutan maka dirancanglah teknik-teknik yang khas Aa-boxer untuk dipertandingkan. Merancang sarana untuk pertandingan, seperti arena tarung, pakaian tanding, dan alat-alat yang digunakan oleh tenaga pelaksana. Mencetak para wasit-juri yang akan menjalankan ketentuan-ketentuan dan peraturan pertandingan. Mengkondisikan bagaimana supaya pertandingan itu ramai disaksikan oleh penonton, memikat dan menarik.
Pada tahun 1988, Boxer pertama kali mengadakan kejuaraan yang disebut “Tarung Bebas AA-BOXER CUP” di Kota Bandung. Semenjak itulah beladiri ini semakin dikenal oleh masyarakat. Malah yang sangat tertarikt secara emosional waktu itu adalah Panglima Daerah Militer (Pangdam) III/Siliwangi yaitu Mayor Jenderal Arie Sudewo. Kedekatan beliau dengan Boxer, sampai sekarang Bapak Arie Sudewo masih setia menjadi Pembina Utama pada Pengurus Besar (PB) Tarung Derajat. Disamping itu, tercatat juga Wali Kota Bandung waktu itu Bapak Otje Djundjunan (suami) Ibu Dra. Ny. Hj Popong R. Otje Djundjunan yang sampai sekarang Ibu Otje masih menjadi pembina PB Tarung Derajat.
Kejuaraan pertama yang disebut “Tarung Bebas” menerapkan beberapa faktor teknis yang berkembang secara almiah, yaitu memakai prinsip “menyerang untuk menang” sebagai tabu bagi petarung. Perolehan nilai atau poin untuk pemenang, memakai sistem perkenaan langsung (full body contact) sebagai khas utama olahraga Boxer. Dasar penerapan teknik bertanding, menerapkan lima unsur beladiri, yaitu memukul, menendang, menangkis, membanting dan mengelak. Pembentukan mental yang membaja petarung menerapkan lima kunci unsur kemampuan, yaitu kekuatan, kecepatan, ketepatan, keberanian, dan keuletan (Sang Guru dalam GO, 1996). Sebelum peterung (atlet) diterjun kearena kejuaraan, semuanya dibekali dengan kualitas teknik yang sama dan memiliki sertifikasi petarung minimal pemegang tingkatan Kurata IV. Kemudian, supaya perbedaan bobot badan jangan mencolok, pertimbangan berat badan adalah menjadi ukuran nomor atau kelas pertandingan yang diklasifikasikan mulai dari kelas ringan (49 kg ke bawah) sampai kelas bebas (65 kg ke atas).
Atas dasar penilaian kemampuan petarung yang memiliki indikasi kemampuan yang sama secara kualitas teknik, maka tidak ada dikenal istilah petarung unggulan. Semua petarung dianggap sama, tidak dipersoalkan ia dari tingkatan kurata IV (sabuk biru), kurata VI (sabuk merah), dan tingkatan Zat (sabuk hitam). Atas dasar itulah, penempatan lawan tanding ditentukan secara undian (acak), mereka mengenal lawan tanding hanya beberapa saat menjelang pertandingan akan dimulai. Pengalaman dan pengembangan kemajuan telah banyak menunjukkan, bahwa petarung berperingkat kurata IV atau V menaklukan petarung tingkat Zat. Untuk itu, keterujian petarung tergantung kematangan menerima materi latihan dari pelatih dan pengalaman seringnya mengikuti kejuaraan lokal dengan mitra tanding sebelum berlaga pada kejuaraan “Tarung Bebas AA-BOXER Cup”.
Sukses pelaksaan kejuaran yang pertama, tentu dengan ada beberapa cacatan Litbang Perguruan Boxer, maka tahun 1991 digelar kejuaraan Tarung Bebas AA-BOXER Cup II dan tahun 1994 kejuaraan Tarung bebas AA-BOXER Cap III atau disebut juga kejuaraan Tarung Bebas Bandung Raya Cup. Tahun 1995 digelar Kejurnas IV Tarung Bebas Boxer. Pada tahun 1996 kejuaraan Piala AA-BOXER V (kejurnas V). Harapan yang strategis Perguruan AA-BOXER untuk masuk menjadi anggota KONI Pusat hampir terbuka lebar yakni dengan terpenuhinya persyaratan 5 (lima) kali mengadakan kejuaran yang bersekala Nasional, maka olahraga Beladiri Tarung Derajat kualifikasi cabang akan diakui oleh KONI Pusat sebagai cabang olahraga prestasi resmi dipertandingkan pada Pekan Olahraga Nasional (PON). Namun untuk pengakuan secara resmi perlu menata secara teknis lagi bentuk dan khas yang diterapkan anatara kejuaraan AA-BOXER Cup I samapai Kejurnas V hampir sama, yaitu memakai sistem perkenaan langsung (full body contact) tanpa pelindung yang menyangkut dengan keselamatan petarung, baik wajah, badan, selangkangan, gigi, kepalan tangan dan kesan brutal yang berlebihan sudah menjadi catatan Litbang KONI Pusat.
D. Tarung Derajat Resmi Jadi Anggota Koni Pusat
Tekat yang kuat untuk menjalankan organisasi mulai terwadahi dari terbentuknya Kepengurusan Pusat Tarung Derajat Priode 1991-1994 dibawah kepemimpinan Ketua Umum Brigjend. TNI. HMA. Sampoerna. Waktu pertama kali mengadakan musyawarah Nasional keanggotan daerah pada tahun 1992 baru mencapai 10 wilayah. Seiring rentangan waktu dan perkembangan kemajuan yang dicapai oleh organisasi Boxer yang pada tahun 1994 sudah memasyarakat pada 15 propinsi di Indonesia. Daerah yang dimaksud pada waktu itu adalah: Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY Yogyakarta, Bali, NTB, Lampung, Sumsel, Jambi, Riau, Sumbar, Sumut, Kaltim, dan Kalbar (data ST, No. Istimewa/PB/VI/1994).
Kelayakan perkembangan bidang organisasi yang diminta oleh KONI Pusat sudah terpenuhi yakni persyaratan hanya 10 daerah dan malah sudah melebi target yaitu mencapai 15 daerah. Namun dari segi bidang pengembangan dan penelitian teknis masih banyak yang harus dipenuhi untuk jadi cabang olahraga keanggotaan KONI Pusat, Indra Jati Sidi waktu itu selaku Litbang KONI Pusat menyebutkan “Kalau boxer sudah masuk KONI Pusat dan dipertandingkan di PON atau tempat yang lebih tinggi lagi, perlu dipertimbangkan penggunaan alat pelindung (body protector). Sementara selama ini, body protector tidak ada dalam tradisi Boxer (Tabloit GO, 1996). Kemudian masalah nama cabang olahraga “Boxer” yang kesannya nama yang diadopsi dari cabang Boxing/tinju, kick boxing ala Amerika dan Thai-Boxing ala Thailand, agaknya perlu disempurnakan.
Menanggapi hal yang demikian, maka Sang Guru, sebagai pemimpin Perguruan Boxer-Seni Keperkasaan AA-Boxer, masih bertahan dengan tradisi dan ciri khas yang ada: pertarungan Boxer tetap olahraga contak langsung (full body contact) tanpa menggunakan alat pelindung. Alasan Sang Guru, “kalau pakai alat pelindung tubuh, boxer akan kehilangan ciri khasnya. Sepanjang sejarah boxer, belum ada petarung yang cacat tubuh, apalagi sampai meninggal karena adu pukul dan tendangan. Soal tetesan darah atau patah tangan itu biasa”.
Dengan demikian secara teknis masih terkendala untuk memenuhi syarat-syarat yang diminta KONI Pusat. Namun Sang Guru waktu itu, masih punya alternatif, yaitu: (1) bisa saja dipertahankan versi Boxer, pertarungan bebas tanpa pembedaan kelas dan tanpa alat pelindung segala macam khusus untuk nomor tradisional; (2) khusus untuk konsumsi KONI atau PON kelak, Boxer memakai alat pelindung badan/wajah (Bola, Agustus 1996). Mengenai nama organisasi pada prinsipnya tidak berkeberatan untuk mengganti, dulunya “Boxer” menjadi Keluarga Olaharaga Beladiri Tarung Derajat yang disingkat KODRAT.
Untuk meluluskan persyaratan resmi jadi anggota KONI Pusat, maka bidang pertandingan dan bidang teknik PB KODRAT bersama Sang Guru Tarung Derajat dan anggota Raparnas 9 Agustus 1996 agar mencari solusi yang terbaik, demi tercapainya cita-cita agar Tarung Derajat diakaui dan disejajarkan dengan cabang olahraga lainnya di Indonesia maupun diluar Negeri.
Akhirnya Sang Guru memutuskan “mengalah untuk menang” agaknya mesti diterapkan untuk konsumsi KONI dan PON Tarung Derajat memakai pelindung (body Protector) dengan memakai Gamsil untuk gigi, batok untuk selangkangan/kemaluan, dan hand box untuk kepalan tangan. Konsekwensi dari keputusan yang diambil Sang Guru, adalah anugrah kemenangan yang penantian cukup lama, tapi pasti, yaitu tepat pada tanggal 6 Januari 1997, KONI Pusat memutuskan Penerimaan Pengurus Besar Keluarga Olahraga Tarung Derajat (PB KODRAT) sebagai anggota Biasa KONI Pusat, nomor: 06/RA/1997.
E. Eksibisi Pekan Olahraga Nasional (PON) XV-2000
Setelah Tarung Derajat resmi diterima KONI Pusat yang tercatat sebagai anggota ke-53, maka secara organisasi dan pembenahan semua bidang terus ditingkatkan. Untuk konsolidasi organisasi pertama diadakanlah Musyawarah Nasional Ke I Keluaraga Olaharaga Tarung Derajat, pada tanggal 12-13 April 1997. Seiring dengan kegiatan ini, juga dilaksanakan Pelatihan Pelatih dan wasit-juri Nasional yan bertujuan untuk penyetaraan teknik guna mengantisipasi kekurangan pelatih dan menambah jumlah wasit-juri di daerah seluruh Indonesia. Dari kegiatan munas tersubut, melahirkan berbagai konsep untuk pengembangan tarung Derajat termasuk merancang program uji-coba kejurnas I yang bentukknya sudah mendekatik pelaksanan Multi Evan seperti PON yang sudah bisa mengakomodir rekomondasi dan petunjuk KONI Pusat terutama menerapkan alat pelindung pada bagian yang pital untuk keselamatan petarung secara ilmu kesehatan olahraga (sport medicine).
Tepat pada tanggal 5-6 Juli 1998 diadakanlah Kejurnas I Tarung Derajat di Kota Bandung Jawa Barat. Banyak memang perubahan yang diterapkan secara teknis dan non-teknis. Secara teknis misalnya, nomor/kelas yang dipertandingkan tujuh kelas, sebelumnya lima kelas. Non-teknis misalnya setiap daerah yang ikut hanya beleh satu petarung mengikuti satu kelas pertandingan, sebelumnya boleh satu daerah atletnya lebih pada satu kelas. Dengan cara demikian otomatis pendstribusian atlet setiap daerah akan merata dan peluang untuk menjadi pemenang akan semakain terbuka.
Perbedaan yang diterpkan pada kejurnas pertama, akan menampakkan perkembangan pembinaan olahraga prestasi berkembang di banyak daerah. Tarung Derajat sebelum resmi jadi anggota KONI Pusat, pembinaan olahraga prestasi terlihat berkembang hanya di Kota Bandung-Jawa Barat. Jadi menerapkan distribusi, prinsip hak sama, maka pada kejurnas I prestasi Cabang Olahraga Tarung Derajat sudah hampir merata di setiap daerah. Data prestasi Kejurnas I menunjukkan dari tujuh medali emas yang diperebutkan Jawa Barat meraih (4 emas, 1 perunggu), Sumbar (2 emas, 2 perak, 1 perunggu), dan NTB (1 emas).
Berdasarkan hasil evaluasi Kejurnas I yang dikemukakan oleh Ketua umum PB KODRAT priode 1997-2000, Letjen TNI (Purn) Serya Subrata dalam (PR, 1998) menyebutkan hasil musyawarah kerja Nasional dan kejurnas I tarung bebas telah menghasilkan berbagai tugas yang menuntut penangan baik dalam pembinaan organisasi maupun pembinaan prestasi. Dengan demikian, kenyataan itulah KONI Pusat juga memutuskan Tarung Derajat diikut sertakan pada PON XV-2000 Surabaya Jawa Timur untuk pertama kali sebagai cabang olahraga Eksibisi.
Pertandingan PON XV-2000 Surabaya, adalah akumulasi dari semua perbaikan yang dilakukan dari semua bidang yang ada pada PB KODRAT. Nomor/kelas yang diperebutkan pada PON XV yakni 9 kelas dengan medali (9 emas, 9 perak, 18 perunggu). Tercatat juga sebagai pertandingan yang sukses penyelenggaraannya dan tidak ada terjadi suatu keributan serta kericuhan. Di samping itu terkesan juga Tarung Derajat berdisiplin tinggi, sebagai bukti, walau cabang eksebisi waktu itu, semua kegiatan yang disusun oleh PB PON XV-2000, dari awal pembukaan sampai penutupan diikuti secara tertip dan teratur. Hal itulah yang menjadikan Tarung Derajat untuk bisa berkembang dan contoh oleh masyarakat Indonesia, serta menjadi catatan akreditasi KONI Pusat untuk masuk menjadi cabang olahraga prestasi pada “multi event PON XVI-2004”.
F. Resmi Mengikuti Kejuaraan Multi Event PON XVI-2004 Palembang
Jadi lahirnya ilmu beladiri yang bernama “Tarung Derajat” sebenarnya bersumber, dicari dan digali dari alam nan luas dengan segala aspek kehidupannya, kemudian diangkat kepermukaan sebagai hasil suatu Pengalaman dan renungan hidup Sang Guru (Haji Achmad Dradjat, Drs.). Untuk kemudian “dicetak” melalui perjuangan masa yang panjang, usaha dengan tekat yang keras, penganalisaan yang tajam, rasional untuk diterima, realistis untuk dipahami, dinamis dalam pergerakan, praktis dilaksanakan dan evektif untuk digunakan. Diharapkan belajar beladiri “Tarung Derajat” dapat mengujudkan “manusia yang berhakekat manusia” sebagai lambang pribadi mandiri BOXER yang menjadi logo Tarung Derajat atau induk organisasi KODRAT.
Makna yang tercantum dalam pribadi mandiri BOXER yang dimanipestasikan dalam setiap insan masyarakat yang mengikuti kegiatan latihan Tarung Derajat. Merupakan keharusan dan perlu disadari bahwa Tarung Derajat adalah sebagai wadah menampung minat, menyalurkan bakat dan hoby dalam rangka membentuk watak dan karakter pribadi yang mencerminkan manusia yang berhakekat manusia yang memiliki: kejujuran, kesetiaan, keberanian moral, budi pekerti, kemandirian, kepribadian, patriotisme, mental baja, rendah hati, jiwa besar, sabar, pemikiran yang positif, dan tanggung-jawab (AD/ART Kodrat: 1994). Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat dibutuhkan didalam pelaksanaan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang masyarakatnya adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Melalui masa yang panjang dan keterujian Tarung Derajat yang sudah pasti menempatkan dirinya menjadi yang terbaik untuk membangun bangsa dalam dunia olahraga, maka akhirnya Tarung Derajat tercatat dalam sejarah olahraga beladiri di Indonesia menjadi cabang resmi olahraga prestasi KONI Pusat yang pertama resmi dipertandingkan pada multi event PON XVI-2004 Palembang. Sekarang Tarung Derajat boleh bangga dengan perjuangannya, namun usaha itu belum lengkap, kalau belum semua bangsa di dunia ini mengakuinya. Untuk itu, semboyan untuk membakar semangat Tarung Derajat agar lebih maju mendunia kata pembina utama PB KODRAT (Mayor Jenderal Arie Sudewo) dalam kesempatan penutupan Pelatihan Pelatih Dasar tingkat Nasional dalam rangka PON XVI-2004 di Palembang adalah “sekali Tarung Derajat eksis diakui KONI Pusat, selamanya tetap eksis ”. Pada kesempatan itu semua peserta pelatihan dari 20 daerah se Indonesia dan disangsikan Pengurus Daerah bersama Sang Guru menjawab BOX!! … BOX!!! . Ini pertanda pernyataan sikap seluruh anggota Keluarga Besar Tarung Derajat seutuhnya. Insya’ Allah, niat yang tulus dan iklas dikabulkan-Nya. Amin.
Bab II. PERKEMBANGAN ORGANISASI TARUNG DERAJAT
Bab III. MATERI PENGAJARAN DAN METODE PRAKTIS TARUNG DERAJAT
Bab IV. PERATURAN PERTANDINGAN TARUNG DERAJAT
Bab V. TES DAN PENGUKURAN PRAKTIS DALAM BELADIRI TARUNG DERAJAT
Berkat izin dan petunjuk Sang Guru, serta Ridho-Nya, mudah-mudahan buku jadi rampung. Amin
Penulis Drs.H.Alnedral
sumber: http://kodrat-sumbar.blogspot.com/2009/04/possting-pak-alnedral.html
0 comments:
Post a Comment