Wednesday, May 23, 2012

Dosen Killer


0
 
 
 
DALAM dinamika perkuliahan, eksistensi mahasiswa tidak terlepas dari peran seorang dosen. Begitu juga sebaliknya, hubungan keduanya seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Banyak peran yang dimiliki oleh dosen, seperti transformasi pengetahuan, peran bimbingan dan pelatihan, menilai hasil pembelajaran dan lainnya. Peran-peran tersebut berkecenderungan melahirkan otoritas berlebih dari dosen. Otoritas tersebut tak jarang menimbulkan gesekan dengan kepentingan mahasiswa.

Lika-liku mahasiswa menempuh pendidikan di PT tentu menimbulkan nuansa suka dan duka, manis dan getir. Meskipun bukan faktor multak, disadari atau tidak, peran dosen akan turut mengantar keberhasilan ataupun kegagalan studi mahasiswa. Pada titik ini, saya berpendapat ada dikotomi, antara dosen ideal dan dosen killer. Meskipun berstatus dosen, kedua karakter ini sangat berbeda.

Dosen ideal, lazimnya mampu memahami situasi mahasiswanya. Dosen tersebut dicintai oleh mahasiswanya, menjadi bahan perbincangan dan dinanti-nantikan perkuliahannya. Komunikatif dan open mind, sehingga mahasiswa tidak akan sungkan mengungkapkan pemikiran/gagasan atau permasalahan yang sedang dihadapi. Cenderung membantu daripada merintangi.

Situasi tersebut di atas berbeda dari karakter dosen killer. Di tengah keterbukaan arus informasi dan teknologi dewasa ini, ternyata masih banyak dijumpai dosen killer di tiap kampus di seluruh Indonesia. Sebuah karakter yang seharusnya tidak berlaku lagi di era social media (SocMed)  seperti sekarang ini.

Penambahan kata killer merupakan istilah yang lazim dilekatkan bagi dosen yang tidak mempunyai kapabilitas membangun hubungan emosional yang baik dengan mahasiswanya, berjarak, mempunyai aturan-aturan kaku (tidak fleksibel). Kental dengan paradigma top-down, antidialog, penyampaian materi kuliah yang membosankan (monolog), pelit dalam memberi nilai, lama dalam membimbing skripsi, abai pada masalah akademik mahasiswa, sibuk dengan proyek di luar kampus, berjarak, birokratis, menghambat dan tidak memudahkan.

Paradigma dosen killer lebih banyak mengacu pada karakter konservatif, bukan pada keterbukaan sikap dan pemikiran yang seharusnya dimiliki oleh seorang akademisi. Padahal, ada aspek-aspek di luar perkuliahan yang harus diperhatikan, seperti pelipatan biaya (cost) yang dibayar oleh mahasiswa/orang tua mahasiswa, ketika nilai mereka gagal, atau skripsi mereka terbengkalai di tangan dosen pembimbing, sehingga berimbas pada lamanya waktu kelulusan.

Kecenderungan ini memberi kesimpulan bahwa, kegagalan studi mahasiswa itu bukan semata-mata faktor mahasiswa, namun juga harus ditinjau bagimana profesionalitas, responsibilitas, dan kualitas kompetensi dari dosen pengampu.

Evaluasi

Menurut UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Bab 1 Pasal 1 ayat 2), dosen dinyatakan sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selanjutnya dalam Pasal 69 (ayat 2), disebutkan empat kompetensi yang wajib dimiliki dosen, yaitu kompetensi mengajar (pedagogik), kompetensi kepribadian (personality), kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Merujuk pengertian dan syarat kompetensi tersebut, karakter dan sikap yang selama ini dihadirkan oleh dosen killer tentu menyimpang dari konstitusi. Maka, guna mendapatkan kualifikasi dosen yang ideal, keberadaan dosen killer harus mendapat perhatian serius dari rektorat, senat, ataupun jurusan, seperti sertifikasi internal PT, evaluasi penjaminan mutu dosen secara berkala, survei atau polling kelayakan dosen di tiap-tiap jurusan/prodi, mengikutkan pada program soft skills, dan pemberian teguran serta sanksi. (24)








OPINI | 05 February 2012 | 17:08 Dibaca: 140   Komentar: 2   1 dari 2 Kompasianer menilai bermanfaat
Dalam Lika-liku mahasiswa menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi disadari atau tidak, peran dosen akan turut mengantar keberhasilan ataupun kegagalan studi mahasiswa. hubungan antara dosen dengan mahasiwa di dalam dunia kampus seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Banyak peran yang dimiliki oleh dosen, seperti transformasi pengetahuan, peran bimbingan dan pelatihan, menilai hasil pembelajaran dan lainnya. Peran-peran tersebut berkecenderungan melahirkan otoritas berlebih dari dosen. Otoritas tersebut tak jarang menimbulkan gesekan dengan kepentingan mahasiswa. Namun di tengah keterbukaan arus informasi dan teknologi dewasa ini, ternyata masih banyak dijumpai dosen killer di tiap kampus di seluruh Indonesia. Sebuah karakter yang seharusnya tidak berlaku lagi di era social media seperti sekarang ini.Tidak terkecuali di kampus tempat penulis saat ini menempuh pendidikan, Keberadaan Dosen Killer itu di Perguruan Tinggi memang benar apa adanya.
Pelit dalam memberi nilai,penyampaian materi kuliah yang membosankan (monolog), lama dalam membimbing skripsi, Dosen yang tidak mempunyai kapabilitas membangun hubungan emosional yang baik dengan mahasiswanya, mempunyai aturan-aturan kaku (tidak fleksibel). Kental dengan paradigma top-down, abai pada masalah akademik mahasiswa, sibuk dengan proyek di luar kampus,menghambat dan tidak memudahkan.itulah beberapa sifat dosen killer menurut pedapat dari teman-teman mahasiswa di kampus ketika saya menanyakan pendapat mereka tentang watak seorang dosen killer.
Dari Karakter dan sikap yang selama ini dihadirkan oleh dosen killer dalam setiap kampus,saya menyimpulkan bahwa keberadaan dosen killer si suatu perguruan tinggi tentu sangat lah merugikan mahasiswa,dimana,ketika seorang mahasiswa mendapat nilai gagal maka akan menambah biaya (cost) yang dibayar oleh mahasiswa/orang tua mahasiswa.
atau skripsi mahasiswa terbengkalai di tangan dosen pembimbing yang killer, sehingga berimbas pada lamanya waktu kelulusan.
Memang terkadang seseorang mahasiswa lama dalam menyelesaikan masa studinya: karena faktor kemalasan,cuty karena sakit parah, dan bisa jadi karena dia harus bekerja untuk membiayai kuliah nya sehingga harus berbagi waktu antara kerja dan kuliahnya, atau aktif di kegiataan intra kampus seperti menjadi aktifis kampus,mahasiswa pencita alam dan kegiataan lain diluar studinya.dengan kesibukan itu kosentrasi ke studi nya agak keteteran dalam menyelesaikan mata kuliah diambilnya.Namun selain alasan tersebut,seorang mahasiswa itu lama menyelesaikan masa studi bukan semata-mata faktor mahasiswa, namun juga harus ditinjau bagimana profesionalitas, responsibilitas, dan kualitas kompetensi dari dosen pengampu.
Apapun alasannya,Keberadaan dosen killer di suatu perguruan tinggi sangat lah merugikan Dan juga bertentangan dengan Menurut UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Bab 1 Pasal 1 ayat 2), dosen dinyatakan sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selanjutnya dalam Pasal 69 (ayat 2), disebutkan empat kompetensi yang wajib dimiliki dosen, yaitu kompetensi mengajar (pedagogik), kompetensi kepribadian (personality), kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dari isi pasal UU tersebut tentu dosen killer telah menyimpang dari konstitusi. Namun dibalik Lika-liku mahasiswa menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi yang menimbulkan nuansa suka dan duka, manis dan getir.yang mana akan merasakan duka disaat harus berhadapan dengan dosen killer tapi Tak sedikit juga kita jumpai dosen yang ideal di dalam perguruan tinggi,yang mana dosen ideal lazimnya mampu memahami situasi mahasiswanya. Dosen tersebut dicintai oleh mahasiswanya, menjadi bahan perbincangan dan dinanti-nantikan perkuliahannya. Komunikatif dan open mind, sehingga mahasiswa tidak akan sungkan mengungkapkan pemikiran/gagasan atau permasalahan yang sedang dihadapi. Cenderung membantu daripada merintangi.
Akhir kata penulis hanya bisa berharap agar kawan-kawan mahasiswa yang saat ini menempuh pendidikan di perguruan tinggi semoga tidak berurusan dengan dosen killer,walau pun memang tak terhindarkan,mau tidak mau akan berurusan dengan dosen killer tersebut,yang mana dalam mata kuliah atau pun dalam menyusun skripsi bisa jadi akan berhadapan dengannya.tapi satu hal yang ingin saya sampaikan berusaha terus menjadi seperti yang diinginkan dosen killer tersebut,walau memang hati ingin berontak tapi jangan melawan dan bertindak konyol terhadap dosen killer tersebut karena itu hanya akan menimbulkan masalah dan juga akan mempersulit dirimu sendiri.

No comments:

Post a Comment