Perpustakaan anak, untuk anak, dan oleh anak, sudah kami coba walau praktiknya butuh dedikasi lagi. Kalau nggak diurus, perpustakaan ya begitu-begitu saja, tak berkembang. Satu lagi cita-cita yang masih belum terealisasi, yaitu perpustakaan buat para ibu. Mengapa ibu? Karena mereka-lah yang menjadi kontroler pendidikan di rumah. Mereka harus berpengetahuan untuk mendidik anak-anaknya, dan buku adalah satu media pendidikan yang efektif.
Perpustakaan buat para ibu semestinya dianggap penting sejajar dengan taman bacaan/perpustakaan anak. Bahkan dengan gerakan 'ibu membaca', maka secara paralel akan memicu motivasi anak-anak untuk juga membaca. Bukankah anak-anak adalah peniru yang hebat?
Sekolah saja tidak cukup untuk menumbuhkan minat membaca. Mayoritas anak-anak yang saya temui tidak terlalu memiliki kebutuhan terhadap buku sebagai 'makanan' otak. Buku bagi mereka hanyalah sumber hafalan yang dibaca untuk ulangan atau ujian.
Kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka dengan kebiasaan itu. Rumah dan sekolah faktanya memang sama-sama tidak terlalu membangun iklim membaca, sehingga wajar anak-anak pun tak merasa perlu untuk melakukannya.
Akan tetapi, mengingat harga buku juga tidak-lah terlalu murah. Mengingat tak semua keluarga punya anggaran cukup untuk beli buku. Mengingat, sebagian ibu juga masih tidak merasa perlu membaca buku, maka perpustakaan yang disediakan khusus untuk mereka akan sangat membantu dan mengedukasi.
Wacana ini bukan sebuah kemusykilan. Siapapun bisa membuka taman bacaan/perpustakaan semacam ini asalkan mau. Mulai dari visi di atas, energi mudah-mudahan terkumpul. Meski dalam praktik dibutuhkan keseriusan para pengelola perpustakaan, namun coba saja dan coba saja memulainya. Biarkan hasilnya bergulir. Mudah-mudahan memberikan perubahan yang signifikan. Kita tak bisa hanya andalkan sekolah formal untuk pendidikan. Kita butuh gerak tambahan, sehingga rasa butuh akan ilmu pengetahuan tumbuh dari dalam, bukan dari 'paksaan' eksternal.
No comments:
Post a Comment