Coba berpikir, kita sedang berjalan-jalan & kemudian di jalan bertemu mayat dalam kondisi utuh yang terbaring di jalanan. Sekarang pertanyaannya, bagaimana kita tahu bahwa orang itu adalah mayat jika kondisinya masih utuh & belum rusak? Jika hanya melihatnya, kita mungkin berpikir itu hanya orang yang sedang tidur di jalan bukan? Dan ketika orang itu mengeluarkan bau busuk setelah beberapa lama di sana, barulah kita tahu bahwa orang itu adalah mayat.
Well, pada semut, kondisinya tidak jauh berbeda. Dalam pengamatannya semasa masih menjadi asisten dosen tahun 1950-an, E. O. WIlson, seorang naturalis terkenal asal AS menemukan bahwa ketika ada seekor semut dalam kondisi utuh mati di dalam sarang, maka bangkai semut itu akan dibiarkan berbaring di sana & tidak digubris oleh teman-temannya yang melewatinya.
Kondisinya baru berubah setelah bangkai tersebut terbaring di sana setelah sekitar 2 hari. Rekannya yang melewati bangkai semut tersebut akan segera mengangkat bangkai itu & membawanya ke semacam "gunungan mayat" semut-semut lainnya di dekat sarang untuk kemudian dibuang ke sana. Belakangan, Ed - sapaan akrab E. O. Wilson - menemukan bahwa sesudah 2 hari, semut yang sudah mati akan mengeluarkan semacam bau menyengat yang membuat teman-teman semutnya tahu bahwa dia sudah mati.
Ed yang penasaran lalu mencari tahu senyawa apa yang menyebabkan munculnya "bau mayat" dari semut tersebut. Ia kemudian menemukan bahwa bau itu berasal dari senyawa yang bernama asam oleik (oleic acid). Dalam autobiografinya, Naturalist, Ed kemudian berusaha membuat tiruan senyawa berbau tersebut dari sejumlah komponen kimiawi seperti skatole (komponen dari tinja), trimetilamin (salah satu unsur yang ditemukan pada ikan busuk), & sejumlah asam lemak yang menyebabkan bau apek pada manusia. Setelah melakukan sejumlah pencampuran & perjuangan melawan bau busuk di lab nya sendiri, Ed akhirnya berhasil mendapatkan senyawa asam oleik yang ia inginkan.
Hal berikutnya yang dilakukan Ed adalah meneteskan ramuan tersebut ke salah satu semut di koloni yang dipelihara di dalam salah satu laboratorium di Universitas Harvard. Hasilnya mencengangkan sekaligus lucu, semut yang ketiban sial ditetesi ramuan tersebut diperlakukan seperti mayat semut yang sudah berbau! Tiap kali ia berada di tengah koloni, teman-temannya akan menangkapnya, menyeretnya ke gunungan mayat, lalu melemparnya ke sana. Hal yang demikian terjadi terus-menerus kepada sang "zombie" tiap kali ia nekat meninggalkan tumpukan mayat tersebut & kembali ke koloninya.
Sedikit info soal semut, semut memiliki penglihatan yang amat buruk karena menghabiskan sebagian besar waktunya dalam sarang yang gelap. Sebagai gantinya, semut memakai bau sebagai sistem komunikasinya di mana semut memakai antenanya sebagai alat pendeteksi & komunikasi. Itulah sebabnya semut sering terlihat saling menyentuhkan antenanya satu sama lain; itu merupakan caranya untuk berkomunikasi. Lebih lanjut, semut juga menghasilkan semacam senyawa berbau (disebut feromon) di mana semut dari koloni & spesies yang berbeda menghasilkan feromon yang berbeda bau pula. Feromon itu bisa dipakai untuk menandai makanan, membuat jejak, penanda identitas antar koloni atau sarang, & sebagainya.
Lalu, bagaimana nasib "Zombie" kita tadi? Oh ya, hampir lupa. Setelah sang "Zombie" bersusah-payah membersihkan dirinya selama 1 jam lebih memakai rahang & kakinya, ia akhirnya berhasil menghilangkan "bau mayat" tersebut & tidak lagi diperlakukan sebagai mayat ketika berada dalam koloni. Well, menjadi "Zombie" memang bukan menjadi hal yang menyenangkan. Termasuk bagi semut tentunya, hehehe...
sumber : Republik Tawon
0 comments:
Post a Comment